Home

Rabu, 11 Juli 2012

Budaya Sumba(NTT)


FloresNews.com – Kampung adat di Sumba diyakini sebagai kampung para leluhur. Kampung ini memiliki kekuatan supernatural. Segala kegiatan yang melibatkan warga berawal dari rumah kepala kampung yang disebut rumah rato yang terletak di tengah kampung. Rumah adat itu ibarat ”jantung” kehidupan warga Sumba.
Di tengah dan pinggir kampung terdapat kubur batu megalitik. Batu-batu untuk penguburan leluhur ini diambil dari batu alam asli. Batu-batu itu berbentuk ceper tak beraturan, berlumut dan kehitaman. Di atas batu tersebut diletakkan sirih, kapur, dan pinang untuk leluhur. Batu-batu ini adalah kuburan leluhur yang meninggal ratusan tahun silam.
Tidak semua orang boleh menginjakkan kaki atau berada di atas batu-batu ceper yang berukuran sedang di tengah kampung ini. Para tamu pun tidak boleh sembarangan mengambil gambar di lokasi tersebut.
Setiap tamu wajib memberi upeti (uang) kepada rato. Uang diletakkan di dalam tempat khusus sirih pinang. Jumlah uang tergantung tamu. Setelah itu, tamu boleh berbicara dengan rato, didampingi istri rato dan sesepuh adat kampung.
Kepala Kampung juga ketua adat disebut Rato Nale (Nyale). Rato artinya raja (penguasa), nale (nyale) artinya cacing (ikan) laut. Rato Nale dari Kampung Bukabhani, Kecamatan Kodi, Sumba, bernama Nggeru Ndongu (78).
Rumah sakral
Ditemui di kampung adat Bukabhani, Senin (28/2/2011), Ndongu mengatakan, kampung adat adalah tempat tinggal para leluhur. Kehadiran mereka ditandai dengan batu ceper asli (alamiah) menyerupai meja, dengan penopang tiga tiang batu atau gundukan batu lain.
”Di dalam tanah, persis di bawah meja batu ini, terdapat tulang belulang berusia ratusan tahun. Tidak hanya itu, hampir seluruh bagian bawah tanah di kampung yang berukuran 100 meter x 200 meter ini terdapat tulang manusia. Tempat ini sangat keramat,” kata Ndongu.
Semua jenis tumbuhan dalam kampung diyakini memiliki kemampuan menyembuhkan. Jika ada warga kampung sakit, terluka saat upacara pasola di lapangan, digosok dengan serat batang tumbuhan atau daun itu.
Rumah rato disebut juga rumah nale. Rumah itu ibarat ”rumah sakit” warga kampung. Jika ada warga kampung yang sakit berat, ibu sulit melahirkan, warga kampung ingin bepergian jauh, pembahasan upacara pernikahan, dan perang antarkampung harus dilakukan di rumah rato itu.
Bibit padi, jagung, kacang, atau tanaman lain disimpan di bagian loteng, tempat tinggal para leluhur atau merapu. Bibit ini mendapat berkat dari leluhur agar menghasilkan buah yang berlimpah untuk kesejahteraan warga.
Kubur batu yang mengelilingi kampung adat sebagai lambang perlindungan leluhur. Sampai 1950-an selalu terjadi perang antarsuku (kampung). Perang itu melibatkan fisik, juga menyertakan kekuatan gaib antarleluhur kampung. Di sini, hubungan harmonis dan kedekatan dengan leluhur sangat menentukan.
Pelaksanaan pasola (perang tanding dua kelompok suku) selalu mendapat petunjuk leluhur. Itu diawali dengan munculnya nale. Kehadiran nale dipadukan dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak di atas rumah adat rato itu.
Setiap bahan bangunan dari kampung adat diambil dari hutan. Tidak boleh menggunakan paku, seng, besi, atau semen. Tiap bahan bangunan yang diambil mendapat izin dari leluhur agar rumah itu tak mendatangkan bencana bagi penghuninya. Meski memiliki ketinggian sampai 30 meter, rumah-rumah itu tidak ambruk diterjang angin kencang.
Rumah rato memiliki tiga tiang utama yang disebut tiang payanu, simbol norma dan hukum (keadilan), ”mataku” simbol keadilan, matangu uhu wei manu, simbol kesejahteraan di bidang pertanian dan peternakan. Kepemimpinan rato harus mencerminkan norma hukum, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan warga.
Menara rumah disebut kawuku uma atau hindi marapu, tempat tinggal para arwah leluhur, anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Di puncak ini disimpan arca-arca leluhur, harta benda, dan benda purbakala yang memiliki nilai mitis magis.
Bukabhani merupakan kampung adat tertua di Sumba Barat Daya (SBD). Rato Nggeru Ndongu sebagai pemimpin semua rato dari sejumlah kampung adat. Ia memiliki kemampuan khusus, seperti meramal suatu peristiwa yang bakal terjadi, atau membaca tanda-tanda alam.
Berangsur sirna
Sampai 1970-an, kampung adat Bukabhani diyakini sebagai kampung terkeramat, dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Bayangan para tamu dari luar tidak boleh menyentuh kubur batu yang berserakan di kampung adat itu. Sang rato harus membacakan doa (mantra) sebelum tamu-tamu masuk kampung. Jika tidak, sang tamu akan mendapat celaka setelah pulang.
”Perkembangan modern perlahan-lahan menggeser nilai-nilai mitis magis dari kampung ini. Sekarang, anak muda sulit diatur, terutama mereka yang sudah pergi ke kota besar atau menyebut diri sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka tidak peduli terhadap segala kepercayaan yang dianut orangtua di kampung,” kata Ndongu.
Kepala Urusan Pemerintahan Desa Atedalo, Kecamatan Kodi, SBD, Robert Ranggamone, mengatakan, dalam urusan adat, pemerintah desa selalu bergantung pada rato. Di Desa Atedalo terdapat dua kampung adat, yakni Bukabhani dan Tossi. Bukabhani merupakan kampung adat tertua di seluruh SBD, bahkan Sumba.
”Penyelenggaraan pasola baik di Sumba Barat maupun SBD selalu mendengar masukan dari Rato Bukabhani,” katanya.
Di Sumba Timur, tradisi pasola sudah lenyap puluhan tahun silam setelah agama Kristen masuk. Di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, budaya pasola masih hidup karena agama Katolik memberi kesempatan bagi budaya lokal untuk tumbuh dan berkembang.
Moses Wakar (23), warga kampung Bukabhani, menuturkan, kekuatan gaib yang diperlihatkan para leluhur makin sirna tahun demi tahun. Itu dikarenakan perkembangan zaman dan sikap generasi muda yang kurang perhatian terhadap adat.
”Upacara pasola, pemerintah sudah mengambil alih dengan alasan demi pariwisata. Sejumlah nilai budaya dan tradisi lokal diabaikan, seperti penentuan hari dan tanggal pelaksanaan pasola. Di Wanokaka, misalnya, pasola biasanya diselenggarakan bulan Maret, tetapi kini malah sudah diselenggarakan pada bulan Februari,” kata Wakar.(kornelis kewa ama/kps)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar