Di
tengah dan pinggir kampung terdapat kubur batu megalitik. Batu-batu
untuk penguburan leluhur ini diambil dari batu alam asli. Batu-batu itu
berbentuk ceper tak beraturan, berlumut dan kehitaman. Di atas batu
tersebut diletakkan sirih, kapur, dan pinang untuk leluhur. Batu-batu
ini adalah kuburan leluhur yang meninggal ratusan tahun silam.
Tidak
semua orang boleh menginjakkan kaki atau berada di atas batu-batu ceper
yang berukuran sedang di tengah kampung ini. Para tamu pun tidak boleh
sembarangan mengambil gambar di lokasi tersebut.
Setiap
tamu wajib memberi upeti (uang) kepada rato. Uang diletakkan di dalam
tempat khusus sirih pinang. Jumlah uang tergantung tamu. Setelah itu,
tamu boleh berbicara dengan rato, didampingi istri rato dan sesepuh adat
kampung.
Kepala
Kampung juga ketua adat disebut Rato Nale (Nyale). Rato artinya raja
(penguasa), nale (nyale) artinya cacing (ikan) laut. Rato Nale dari
Kampung Bukabhani, Kecamatan Kodi, Sumba, bernama Nggeru Ndongu (78).
Rumah sakral
Ditemui
di kampung adat Bukabhani, Senin (28/2/2011), Ndongu mengatakan,
kampung adat adalah tempat tinggal para leluhur. Kehadiran mereka
ditandai dengan batu ceper asli (alamiah) menyerupai meja, dengan
penopang tiga tiang batu atau gundukan batu lain.
”Di
dalam tanah, persis di bawah meja batu ini, terdapat tulang belulang
berusia ratusan tahun. Tidak hanya itu, hampir seluruh bagian bawah
tanah di kampung yang berukuran 100 meter x 200 meter ini terdapat
tulang manusia. Tempat ini sangat keramat,” kata Ndongu.
Semua
jenis tumbuhan dalam kampung diyakini memiliki kemampuan menyembuhkan.
Jika ada warga kampung sakit, terluka saat upacara pasola di lapangan,
digosok dengan serat batang tumbuhan atau daun itu.
Rumah
rato disebut juga rumah nale. Rumah itu ibarat ”rumah sakit” warga
kampung. Jika ada warga kampung yang sakit berat, ibu sulit melahirkan,
warga kampung ingin bepergian jauh, pembahasan upacara pernikahan, dan
perang antarkampung harus dilakukan di rumah rato itu.
Bibit
padi, jagung, kacang, atau tanaman lain disimpan di bagian loteng,
tempat tinggal para leluhur atau merapu. Bibit ini mendapat berkat dari
leluhur agar menghasilkan buah yang berlimpah untuk kesejahteraan warga.
Kubur
batu yang mengelilingi kampung adat sebagai lambang perlindungan
leluhur. Sampai 1950-an selalu terjadi perang antarsuku (kampung).
Perang itu melibatkan fisik, juga menyertakan kekuatan gaib antarleluhur
kampung. Di sini, hubungan harmonis dan kedekatan dengan leluhur sangat
menentukan.
Pelaksanaan
pasola (perang tanding dua kelompok suku) selalu mendapat petunjuk
leluhur. Itu diawali dengan munculnya nale. Kehadiran nale dipadukan
dengan mimpi sang rato dan posisi bulan, tepat tegak di atas rumah adat
rato itu.
Setiap
bahan bangunan dari kampung adat diambil dari hutan. Tidak boleh
menggunakan paku, seng, besi, atau semen. Tiap bahan bangunan yang
diambil mendapat izin dari leluhur agar rumah itu tak mendatangkan
bencana bagi penghuninya. Meski memiliki ketinggian sampai 30 meter,
rumah-rumah itu tidak ambruk diterjang angin kencang.
Rumah
rato memiliki tiga tiang utama yang disebut tiang payanu, simbol norma
dan hukum (keadilan), ”mataku” simbol keadilan, matangu uhu wei manu,
simbol kesejahteraan di bidang pertanian dan peternakan. Kepemimpinan
rato harus mencerminkan norma hukum, nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
perlindungan, dan kesejahteraan warga.
Menara
rumah disebut kawuku uma atau hindi marapu, tempat tinggal para arwah
leluhur, anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Di puncak ini
disimpan arca-arca leluhur, harta benda, dan benda purbakala yang
memiliki nilai mitis magis.
Bukabhani
merupakan kampung adat tertua di Sumba Barat Daya (SBD). Rato Nggeru
Ndongu sebagai pemimpin semua rato dari sejumlah kampung adat. Ia
memiliki kemampuan khusus, seperti meramal suatu peristiwa yang bakal
terjadi, atau membaca tanda-tanda alam.
Berangsur sirna
Sampai
1970-an, kampung adat Bukabhani diyakini sebagai kampung terkeramat,
dipercaya memiliki kekuatan supernatural. Bayangan para tamu dari luar
tidak boleh menyentuh kubur batu yang berserakan di kampung adat itu.
Sang rato harus membacakan doa (mantra) sebelum tamu-tamu masuk kampung.
Jika tidak, sang tamu akan mendapat celaka setelah pulang.
”Perkembangan
modern perlahan-lahan menggeser nilai-nilai mitis magis dari kampung
ini. Sekarang, anak muda sulit diatur, terutama mereka yang sudah pergi
ke kota besar atau menyebut diri sebagai pelajar atau mahasiswa. Mereka
tidak peduli terhadap segala kepercayaan yang dianut orangtua di
kampung,” kata Ndongu.
Kepala
Urusan Pemerintahan Desa Atedalo, Kecamatan Kodi, SBD, Robert
Ranggamone, mengatakan, dalam urusan adat, pemerintah desa selalu
bergantung pada rato. Di Desa Atedalo terdapat dua kampung adat, yakni
Bukabhani dan Tossi. Bukabhani merupakan kampung adat tertua di seluruh
SBD, bahkan Sumba.
”Penyelenggaraan pasola baik di Sumba Barat maupun SBD selalu mendengar masukan dari Rato Bukabhani,” katanya.
Di
Sumba Timur, tradisi pasola sudah lenyap puluhan tahun silam setelah
agama Kristen masuk. Di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, budaya pasola
masih hidup karena agama Katolik memberi kesempatan bagi budaya lokal
untuk tumbuh dan berkembang.
Moses
Wakar (23), warga kampung Bukabhani, menuturkan, kekuatan gaib yang
diperlihatkan para leluhur makin sirna tahun demi tahun. Itu dikarenakan
perkembangan zaman dan sikap generasi muda yang kurang perhatian
terhadap adat.
”Upacara
pasola, pemerintah sudah mengambil alih dengan alasan demi pariwisata.
Sejumlah nilai budaya dan tradisi lokal diabaikan, seperti penentuan
hari dan tanggal pelaksanaan pasola. Di Wanokaka, misalnya, pasola
biasanya diselenggarakan bulan Maret, tetapi kini malah sudah
diselenggarakan pada bulan Februari,” kata Wakar.(kornelis kewa ama/kps)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar